Sumber-sumber sejarah tentang kegitan islamisasi di Nusantara ini sangat
sedikit, dan secara keseluruhan catatan-catatan sejarah tentang pengislaman di
dalam literatur dan tradisi melayu masih simpang siur dan beragam
keterangannya. Oleh karena itu, banyak hal-hal yang sukar terpecahkan sehingga
sejarah di Nusantara banyak yang bersifat perkiraan. Mencari ketepatan kapan
masuknya Islam ke Nusantara sangat sulit.
Menentukan masuknya Islam di Nusantara biasanya dikaitkan dengan kegiatan
perdagangan antara dunia Arab dengan Asia Timur. Banyak yang memperkirakan
bahwa kontak antara Nusantara dengan Islam terjadi sejak abad ke- 7 Masehi.
Dalam seminar Sejarah Masuknya Islam yang berlangsung di Medan tahun 1963 yang
dikukuhkan lagi dengan seminar Sejarah Islam di Banda Aceh tahun 1978
menyimpulkan bahwa masuknya Islam ke Nusantara abad ke-1 Hijriyah langsung dari
tanah Arab. Di samping itu ada juga yang berpendapat bahwa Islam masuk pada
abad ke- 13 Masehi.
Ada satu persoalan lain yang menjadi perdebatan dan sulit dipastikan adalah
persoalan dimana Islam pertama sekali masuk. Ada yang mengatakan di Jaya, dan
ada yang mengatakan di Barus, namun demikian ahli sejarah sependapat bahwa
Islam masuk ke Nusantara melalui pesisir Sumatera Utara, yaitu melalui Samudera
Pasai (Aceh).
Sebagaimana yang terjadi di daerah-daerah lain di Asia Tenggara, Islam tersebar
di Nusantara melalui tiga metode, yaitu pengislaman oleh pedagang Muslim
melalui jalur perdagangan yang damai, oleh para da’i yang datang ke Indonesia,
dan dengan melalui kekuasaan. Pengislaman yang dilakukan oleh para pedagang
terjadi sejak kontak paling awal antara Islam dengan daerah-daerah pesisir
pantai Sumatera Utara. Pantai Sumatera Utara merupakan pesinggahan
saudagar-saudagar Muslim yang menuju ke asia Timur melalui Selat Malaka. Mereka
yang singgah di pesisir Sumatera Utara membentuk masyarakat muslim. Tidak
tertutup kemungkinan di antara mereka menjalin hubungan perkawinan dengan
penduduk pribumi atau menyebarkan Islam sambil berdagang, sehingga lama kelamaan
penduduk setempat memeluk Islam.
Kegiatan pengislaman berikutnya dilakukan oleh ulama-ulama yang turut dalam
kapal-kapal dagang. Mereka mempunyai tujuan khusus untuk menyebarkan Islam.
Tome Pires, yang pernah mengunjungi Pasai, menceritakan dalam bukunya Suma
Oriental bahwa banyak orang Moor tersebut, (istilah dalam bahasa Portugis untuk
menyebut orang-orang yang terusir dari bumi Spanyol) dan di Filipina
orang-orang Islam disebut bangsa Moro, yang menebar islam dan muncullah (ulama)
yang berusaha keras dan mendorong Raja Pasai (Meurah Silu) masuk Islam.
Pernyataan masuk Islam seorang raja mempunyai nilai tersendiri bagi proses
islamisasi. Tidak lama setelah itu, keislamannya akan diikuti oleh rakyat, dan
berikutnya dilakukan penyebaran Islam melalui pemakluman perang terhadap
kerajaan-kerajaan yang kafir.
Menurut A. Hasyimy, kerajaan Islam pertama di Sumatera Utara adalah
Kerajaan Perlak yang muncul pada abad ke-9 Masehi. Kerajaan Perlak mempunyai
pengaruh keislaman bagi daerah-daerah di sekitarnya. Banyak ulama Perlak yang
berhasil menyebarkan Islam ke luar Perlak, misalnya sekelompok Da’i Perlak
dapat mengislamkan raja Benua. Para ulama Perlak, tokoh-tokoh, pemimpin, dan
keluarga raja Perlak banyak yang pindah ke lingga setelah penyerangan Sriwijaya,
sehingga mereka membentuk masyarakat Muslim di sana dan dengan demikian maka
berdirilah kerajaan Islam Lingga. Selain Perlak kerajaan Islam yang terpenting
di Sumatera Utara adalah Samudera . Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa pada
tahun 1282 kerajaan kecil Samudera telah mengirim duta-duta dengan nama muslim.
Samudera merupakan daerah kecil yang terletak di muara Sungai Peusangan dan
mempunyai peranan penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Selain itu
Samudera menjadi pusat pengembangan pengetahuan agama, dimana teolog-teolog,
ahli ilmu kalam, yang datang dari Arab dan Persia, sering melakukan diskusi
tentang teologi dan mengkaji kajian Islam di istana sultan. Reputasi Samudera
kemudian beralih ke Pasai dan menjadi pusat keilmuan. Upaya islamisasi terus
digiatkan sehingga Pasai memiliki pengaruh keislaman yang kuat dan menjadi
pusat tamaddun Islam di saat itu. Kerajaan Pasai mengalami kemunduran diakhir
tahun 1521 dimana terjadi penyerangan oleh Portugis. Sultan Ali Mughayatsyah
sebagai sultan Kerajaan Darussalam pada masa itu membantu Pasai menggempur
Portugis dan merampas wilayah Pasai.Kemudian mempersatukan dengan kerajaan
Darussalam sehingga memproklamirkan menjadi Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun
1524.
Pasca leburnya Samudera Pasai ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam membuat
Aceh tampil sebagai kekuatan yang menyeluruh dan terpadu baik di bidang
politik, maupun ekonomi, bahkan di bidang pemikiran islam mulai abad 16 sampai
abad 18 dan puncak kejayaannya berlangsung pada abad ke- 17. Kejayaan dan kemajuan
yang dicapai oleh Aceh menyebabkan berdatangan ulama-ulama dari Arab, Persia
atau India menjalin hubungan demi pengembangan keilmuan di Aceh.
Di Aceh telah lahir ulama-ulama besar yang membaktikan diri mereka dalam
renungan dakwatul islam sehingga lahirlah khazanah keilmuan dan wacana
intelektual keagamaan. Semua itu membuat Aceh patut diperhitungkan dalam “peta
pemikiran Islam di Nusantara. Mekar dan maraknya pemikiran keagamaan menjadikan
Aceh pusat keilmuan Islam di Nusantara, sehingga banyak orang Islam dari
berbagai daerah di Nusantara datang ke Aceh untuk belajar kepada ulama-ulama
besar Aceh. Murid-murid yang belajar ke Aceh nantinya kembali ke daerah
masing-masing, untuk menyebarkan Islam, ilmu bahkan tarekat.. Mereka merupakan
anak panah penyebaran Islam dan tradisi keilmuan yang berkembang di Aceh.
Selain itu kedudukan Aceh sebagai persinggahan jamaah haji Indonesia telah
menjadikan Aceh posisi istimewa bagi penyebaran dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan pengajaran agama Islam. Kehadiran jemaah haji di Aceh sambil
menunggu pemberangkatan ke Haramain sering dimanfaatkan untuk belajar ilmu
keagamaan.
Untuk melihat pengaruh Aceh dalam keagamaan dan keilmuan di Aceh, Berikut
ini akan dijelaskan secara singkat figur ulama-ulama Penyebar Islam di Aceh dan
buah karyanya serta peran mereka dalam pengembangan keilmuan di Nusantara.
1. Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri adalah seorang ulama dan sufi besar pertama di Aceh. Beliau
adalah penulis produktif yang menghasilkan karya risalah keagamaan dan juga
prosa yang sarat dengan ide-ide mistis. Selain itu aktif menulis karya-karya
tentang tasawuf pada paruh ke dua abad ke- 16. dan menguasai bahasa Arab,
bahasa Parsi, disamping juga menguasai bahasa Urdu.
Paham tasawuf yang dibawanya adalah Wujudiyah. Kepopuleran nama Hamzah
Fansuri tidak diragukan lagi, banyak pakar telah mengkaji keberadaan Hamzah
yang sangat popular lewat karya-karyanya yang monumental. Namun mengenai dimana
dan kapan persisnya Hamzah lahir, sampai saat ini masih menjadi pertanyaan dan
perbedaan pendapat para ahli sejarah. Hal itu disebabkan karena belum terdapat
catatan yang pasti tentang hal tersebut. Satu-satunya data yang dapat
dihubungkan dengan tempat kelahiran Hamzah adalah Fansur, yang merupakan suatu
tempat yang terletak antara Sibolga dan Singkel. Dari sebutan namanya Hamzah
Fansuri, yang berarti Hamzah dari Fansur, yang menunjukkan bahwa Hamzah memang
berasal dari Fansur yang merupakan pusat pengetahuan Islam lama di Aceh bagian
Barat Daya. Hal yang sama dikatakan oleh Francois Valentijn bahwa Hamzah
Fansuri seorang penyair Melayu termasyhur yang dilahirkan di Fansur (Barus)
sehingga negeri tersebut terkenal dikarenakan syair-syair Melayu gubahannya.
Namun menurut Syech Muhammad Naguib Al-Attas berpendapat bahwa Hamzah lahir di
Syahrawi, Ayuthia Ibukota Siam lama hal ini didasarkan pada syairnya :
“Hamzah asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Syahrawi
Beroleh khilafah ilmu yang ‘adil
Daripada Abdul Qadir Sayid Jailani”
Dalam hal ini pada bait ke dua mendapat wujud di tanah Syahrawi dipahami
sebagai Hamzah lahir di sana. Namun pendapat L.F. Brekel, Drewes mengatakan
bahwa wujud dalam bait kedua itu diartikan bahwa Hamzah hendak mengatakan di
syahrawilah dia bertemu dengan Tuhan. Artinya hamzah memulai mempelajari
tarekat Wujudiayah. Kontroversi mengenai tempat kelahiran Hamzah seorang ulama
besar ini memang tidak akan pernah selesai, karena data yang ada masih
dipertentangkan dan belum ada yang akurat, hanya berdasarkan
perkiraan-perkiraan yang dikait-kaitkan dengan karya-karyanya.
Hamzah fansuri diperkirakan hidup dan berkiprah sebelum dan selama
pemerintahan Sultan Alaiddin Ali Ri’ayatsyah Saidil Mukammil (1588-1604).
Kraemer berpendapat bahwa Hamzah hidup pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin
Riayat syah Almukammil sampai masa awal Iskandar Muda, atau paling tidak hingga
tahun 1620 M.
Kalau kita melihat dari keberadaannya sebagai penulis produktif yang
tercermin dari karya-karyanya, tentu Hamzah telah berkiprah sejak pemerintahan
Sultan Alauddin bin Sultan Ahmadsyah Perak hingga pada Sultan Ali Ri’ayatsyah
Al Mukammil. Hal ini dapat dilihat dalam sajaknya yang menggambarkan hubungan
antara Hamzah dengan sultan, dalam syair berikut mengatakan:
“Hamba mengikat shair ini, Di bawah hadrat raja yang wali”
Pada bait yang lain Hamzah menulis :
“Syah Alam raja yang adil,
Raja Qutub sempurna Kamil, Wali Allah sempurna wasil, Raja ‘arif lagi mukammil”.
Bait-bait ini secara eksplisit memberikan pesan bahwa hubungan antara Hamzah
dengan sultan adalah harmonis, bahkan kata Wali Allah dalam syairnya
menampakkan bahwa pengakuan dan penghargaan Hamzah kepada sultan sebagai
seorang penguasa tertinggi. Bahkan Sultan Alaiddin Ali Riayatsyah diberi
sebutan dengan wali Allah mengandung implikasi sultan memiliki “otoritas sufistik
keagamaan”, yang menyiratkan bahwa wali dalam Islam bermakna seorang yang saleh
yang dianugerahi kekuatan dan kelebihan yang berfungsi sebagai perantara antara
Tuhan dan manusia. Sedangkan sebutan sufistik yang tertinggi sebagai seorang
yang “sempurna atau kamil” dan “almukammil” yang berarti seorang yang sempurna
atau “insan kamil.” (Amirul Hadi, 2010, 74).
Hubungan yang harmonis antara Hamzah Fansuri dapat diceritakan juga oleh
John Davis ketika mengunjungi Aceh tahun 1599 bahwa ada seorang pemuka agama
yang sangat dihormati oleh rakyat dan penguasa beliau sebagai Syaikh al-Islam,
pada masa Sultan Al Mukammil. ( Jon Davis, 1880, 151).
Paham dan pemikiran
tasawuf Hamzah Fansuri yang dibawanya bersama seorang muridnya bernama
Syamsuddin Al-Sumatrani adalah paham wujudiyah. Mereka berdua telah memainkan
peranan penting dalam membentuk pemikiran dan praktek keagamaan kaum Muslim
Nusantara pada paruh pertama abad ke- 17 M. Ajaran-ajaran mereka sangat
dipengaruhi oleh karangan-karangan Ibnu Arabi dan Al-Jilli. Misalnya bahwa alam
raya merupakan serangkaian emanasi neo-platonisme, dan menganggap setiap
emanasi adalah aspek Tuhan. Tuhan sebagai wujud tunggal yang tiada bandingan
dan sekutu menampakkan sifat-sifat kreatifNya melalui ciptaanNya. Pendapatnya ini
merujuk pada Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 151 yang artinya “ Kemanapun
kamu memandang akan tampak wajah Allah”. Paham ini menyebabkan Hamzah
Fansuri dan Syamsuddin di tuduh sesat dan menyimpang. Pemikiran mareka akhirnya
ditentang oleh ulama-ulama besar Aceh yang datang belakangan, yaituNuruddin
Ar-Raniri dan Abdul Rauf al-Singkili.
Adapun karya-karya Hamzah Fansuri antara lain:
1).Syarab al-‘Asyiqin ,
2). Asrar al-‘Arifin,
3).Al Muntahi.
Syarab al-‘Asyiqi merupakan risalah tasawuf pertama dalam bahasa melayu
yang merupakan ringkasan ajaran faham wujudiyah sebagai pengantar memahami ilmu
suluk. Di dalamnya diuraikan cara-cara mencapai makrifat dan tahap-tahap ilmu
suluk yang terdiri dari syariat, tarekat, hakekat dan makrifat.
Asrar al-‘Arifin kitab hamzah yang menguraikan pandangan falsafahnya
tentang metafisika dan teologi sufi, dengan cara menafsirkan utaian syair-syair
karangannya menggunakan metode hermeneutika sufi (ta’wil).
Kitab Muntahi merupakan risalah tasawufnya yang paling ringkas namun padat,
yang menguraikan pandangan Hamzah Fansuri mengenai ucapan-ucapan sytahat
(teofani) sufi yang sering menimbulkan perdebatan di kalangan ulama. Misalnya
ucapan dari Mansur al-Hallaj “An al- Haqq” (Akulah kebenaran kreatif). Akhir
perjalan kiprah Hamzah Fansuri kembali ke Singkil mendirikan dayah atau
pesantren dan meninggal di sana. Makamnya terdapat di Desa Oboh, Kecamatan
Rangkang, Kabupaten Aceh Singkil. Setelah pemekaran wilayah Desa ini masuk
wilayah Kota Subulussalam. Kini makamnya dirawat dan dijaga dengan baik, namun
sangat disayangkan kini telah terjadi vandalism (kerusakan) berupa pengecatan
pada nisan makam, sehingga menyebabkan hilang nilai historis dan keaslian
makam.
Makam Hamzah Fansuri
2. Syamsudin al-Sumatrani
Sufi besar yang muncul di Aceh sesudah Hamzah Fansuri ialah Syamsudin
Al-Sumatrani, atau yang juga dikenal sebagai Syamsudin Pasai karena berasal
dari Pasai. Sebagai penulis risalah tasawuf dia lebih produktif daripada
pendahulunya itu. Banyak mengarang kitabnya dalam bahasa Melayu dan Arab.
Syamsudin Pasai ini seorang ulama dan sangat disayangi sultan Iskandar
Muda, sehingga ia diangkat sebagai pembantu dekatnya, Seorang pelawat Eropa
yang berkunjung ke Aceh mengatakan bahwa Syamsudin sebagai bishop yang berarti
seseorang mempunyai kedudukan tinggi di istana Aceh. Di samping itu ia seorang
ahli politik dan ketatanegaraan seperti Bukhari al-Jauhari pengarang kitab
Tajul al-Salatin (T. Iskandar, 1987).
Dalam penulisan sastra, peranan Syamsudin terutama dalam upayanya
mengembangkan kritik sastra secara hermenuitika sufi (ta’wil) yang telah
berkembang sejak abad 11 M. Karyanya yang menggunakan metode ta’wil ini tampak
dalam risalahnya yaitu Syarah Ruba’I Hamzah Fansuri.Ta’wil merupakan metode
penafsiran sastra yang melihat teks puisi sebagai ungkapan kata-kata simbolik
dan metaforik yang maknanya berlapis-lapis (makna lahir, makna bathin, dan
makna isyarah atau sugestif).
Bahasa Melayu yang digunakan Syamsudin dalam karyanya tidak jauh berbeda
dari bahasa Melayu yang digunakan penulis kitab sastra dalam abad 17-19 M.
Karya-karyanya antara
lain adalah:
--Mir’at al-Mukminin
(Cermin orang beriman),
– Jauhar al-Haqaiq (Permata Kebenaran),
– Kitab al-Haraka,
– Mir’at al-Iman,
– Kitab al-Martaba (Martabat manusia),
– Mir’at al- Muhaqqiqin,
– Syarah Ruba’I Hamzah fansuri,
– Thariq al-Salihin, dan lain-lain.
Ajaran yang dibawa Syamsudin ini berakar pada pada ajaran Ibnu ‘Arabi dan
menganut faham martabat tujuh yang diperoleh dari Al-Tufah al- Mursalah ila
Ruhin Nabi, karya Muhammad Fadhlullah al-Burhanpuri dari India. Sultan Iskandar
Muda sangat tertarik dengan ajaran tasawuf yang dibawa oleh Syamsudin Pasai
sehingga beliau termasuk salah seorang pengikut faham wujudiyah. Sejumlah
karyanya yang dipersembahkan untuk sultan Iskandar Muda antara lain Kitab
Thariq al-Salihin dan Nur al-Daqaiq. Syamsudin Pasai meninggal dunia pada tahun
1630 M. bertepatan dengan Armada Aceh mengalami kekalahan di Malaka.
3. Nuruddi Ar-Raniri
Ulama dan sastrawan ini berasal dari Ranir, lahir pada tahun 1568 M. di
sebuah kota pelabuhan di pantai Gujarat.(Windstedt, 1968: 145; Ahmad Daudy,
1983: 49). Ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadhramaut. Sedangkan ibuya
adalah seorang Melayu. Ar-Raniri lebih dikenal sebagai ulama besar
Melayu-Indonesia daripada India dan Arab. Karena sejak kecil sudah tertarik dan
senang mempelajari bahasa melayu, sehingga tumbuhlah ia menjadi seorang yang
sangat mencintai dunia Melayu. Ia pun telah mengabdikan dirinya demi
kepentingan Islam di Nusantara dengan mendapat kepercayaan dari seorang sultan
pada kesultanan Aceh. Hatinya sangat tertarik dengan dunia Melayu. Setelah
beberapa lama menimba ilmu ke Timur Tengah, ia berangkat ke Aceh pada tahun
1637 M. dan mendapat kepercayaan dari sultan Iskandar Thani, sebagai Syaikhul
Islam. Setelah mendapat posisi yang kuat di Aceh, Ar-Raniri kemudian
melancarkan pembaharuan Islam dengan radikal. Ia menentang paham Wujudiyah yang
dibawa oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin Al-Sumatrani. Ar-Raniri menuduh mereka
berdua telah sesat dan menyimpang dari ajaran Islam. Orang-orang yang menolak
melepaskan keyakinannya yang sesat akan dibunuh, dan banyak buku/kitab-kitab
Hamzah Fansuri dibakar.
Dalam pembaharuannya, Ar-Raniri memperkenalkan corak keilmuan dan wacana
keagamaan yang baru. Meskipun ia juga seorang penganut Wujudiah dan pengikut
Ibnu ‘Arabi, namun dalam menafsirkan ajaran wujudiyah ia ketat bertolak pada
syariat dan fikih. Paham wujudiyah yang dianutnya tidak hanya penekanan pada
tasawuf saja, tetapi juga menjelaskan kepada kaum Muslim Nusantara dasar-dasar
keimanan, aturan-aturan fikih, perbandingan agama, pentingnya hadis, serta
sejarah. Untuk menjelaskan semua itu, ia menerjemahkan dan menyusun kitab-kitab
yang membahas berbagai macam pengetahuan dan sastra sesuai dengan kondisi umat
Islam-pada saat itu. Karya-karyanya cukup banyak lebih dari 40 kitab antara
lain :
– Sirat- al-Mustaqim
(Jalan Lurus), merupakan kitab fikih yang pertama dan lengkap ditulis dalam
bahasa melayu.
– Daral al- Faraid, membahas tentang tauhid dan falsafah keimanan.
-Lata’ih al-Asrar,
– Hall al-Dzill ma’a Sahabihi,
– Umdat al- I’tiqad,
-Hujaj al-Sidiq,
-Jauhar al-‘Ulum,
– Ma’al Hayat, dan lain-lain.
– Bustanus al-Salatin, (Taman Para Raja), nama lengkapnya kitab ini adalah
Bustanu al-Salatin fi al-Awwaliin wa al-Akhirin. Kitab ini disusun atas
permintaan Sultan Iskandar Thani, yang berisi masalah ketatanegaraan dan
sejarah. Kitab ini merupakan penyempurnaan dari kitab Tajul al-Salatin (Mahkota
Raja-raja) yang dikarang oleh Bukhari Al-Jauhari. Kitab Bustanussalatin ini
tidak hanya membahas tentang ketatanegaraan, sejarah saja tetapi juga memuat
eskatologi, dan berbagai persoalan lain yang berkaitan dengan fikih, tasawuf
dan usuluddin. Karena tebalnya kitab ini sampai kini tidak diterbitkan secara
utuh, hanya bagian bab demi bab saja diterbitkan dalam buku terpisah. Kitab
Bustanussalatin ini sangat penting sebagai sumber penulisan sejarah Aceh yang
mengisahkan tentang Sultan Iskandar Thani, Taman Raja yang dibangun sejak masa
Sultan Iskandar Muda.
Ada beberapa kitab tasawuf yang dikarangnya berisi hujatan dan kecaman pada
Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-Sumatrani. Peranan Ar-Raniri cukup besar dalam
pembentukan tradisi keilmuan yang bercorak ortodoksi di Nusantara. Usaha
pembaharuan Ar-Raniri tidak berlangsung lama karena reputasinya tergusur oleh
murid dan pengikut Hamzah dan Syamsudin. Setelah Sultan Iskandar Thani wafat
Nuruddin Ar-Raniri meninggalkan Aceh dan kembali ke tanah airnya. Namanya kini
diabadikan pada sebuah Perguruan Tinggi Islam yaitu “Institut Agama Islam
Negeri Ar-Raniri”.
4. Abdul Rauf al-Singkili
Abdul Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili adalah seorang ulama
besar Aceh yang terakhir. Ia lahir di Fansur, dibesarkan di Singkel, wilayah
pantai Barat-Laut Aceh.
Diperkirakan lahir tahun 1615 M. Ayahnya Syech Ali Fansuri masih bersaudara
dengan Syech Hamzah Fansuri. Beliau menghabiskan waktunya selama 19 tahun untuk
menuntut berbagai cabang ilmu Islam di Haramayn. Setelah selesai belajar
berbagai macam ilmu agama ia kembali ke Aceh dan membaktikan dirinya di
Kesultanan Aceh. Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin Abdul Rauf ini
diangkat sebagai Mufti kesultanan Aceh menjadi Qadhi Malikul Adil. Dalam
kiprahnya beliau melanjutkan usaha pembaharuan yang pernah dirintis oleh
Ar-Raniri. Tema sentral pembaharuannya diutamakan pada rekonsiliasi, dengan
memadukan secara simponi tasawuf dan syariah. Kegagalan Ar-Raniri menentang
paham wujudiyah dilanjutkan oleh Abdul Rauf, tetapi tidak dengan jalan radikal.
Beliau sangat bijaksana dalam menyikapi dua hal yang bertentangan dan tidak
bersikap kejam terhadap mereka yang menganut paham lain. Beliau juga mengecam
sikap radikal yang dijalani Ar-Raniri. Dengan bijaksana mengingatkan kaum
Muslimin Nusantara bahwa jangan tergesa-gesa dan bahayanya menuduh orang lain
sesat atau kafir.
Tarekat yang dijalankan Abdul Rauf adalah tarekat Syatariyah karena
mengikuti dan telah mendapat ijazah dari gurunya Ahmad Al-Qusyasyi, sehingga
nama beliau tercantum pada silsilah Syatariyah di Aceh. Bahkan nama Qusyasyi
begitu dikenal dan melekat di daerah Sumatera dan Jawa, bahkan tarekat
Syatariyah ini dalam naskah-naskah tertentu disebut tarekat Qusyasyiyah.
Abdul-rauf ini aktif menulis karya-karya keagamaan yang membahas masalah
fikih, ilmu kalam, tasawuf dan tafsir.
Karya-karyanya antara lain:
– Mir’atu
ath-Thullab fi Tashil Ma’rifatil ahkam wasy-syar’iyah
– Umdatul
Muhtajin ila suluki Maslah al-Mufridin
– Kifayat
al- Muhtajin ila Suluk Maslak Kamal al-Tahbir
– Li’l
Malik al-Wahhab
– Turjumun
al- Muwahhidin al-qaili bi Wahdah al- Wujud
Ulama Abdul Rauf ini seorang yang giat mengembangkan pemikiran dan
penyebaran Islam dan banyak mencetak murid-murid yang juga memainkan peranan
penting dalam penyebaran islam di berbagai daerah, sehingga menyebabkan
jangkauan pengaruh Aceh sangat luas. Di dalam kiprahnya mengajarkan dan
mengembangkan agama Islam terus dilakukan, di dayahnya bernama Rangkang Teuku
Syiah Kuala di Pantai Kuala, yang merupakan salah satu dayah/rangkang yang
banyak menghasilkan ulama-ulama yang berkwalitas sebagai penerusnya. Antara
lain muridnya yang terkenal adalah Syech Burhanuddin dari Minangkabau yang
turut berkiprah menyebarkan agama Islam di Minangkabau. Syech Abdul Rauf
meninggal dan dimakamkan di kuala raya Desa Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala,
Kota Banda Aceh.
Ketika terjadi bencana gempa dan tsunami di Aceh, makam ini rusak ringan
dan kedua nisannya dalam keadaan patah lelah. Kemudian oleh pihak Yayasan
Yamsika telah melakukan perbaikan dengan cara mengecor nisan tersebut lalu
dipasangkan pada jirat makam. Hal itu dilakukan secara sepihak tanpa ada
koordinasi sebelumnya dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh
dan instansi terkait lainnya. Sehingga tindakan ini telah menyalahi dari
prinsip teknis pemugaran, dan perlindungan cagar budaya sebagaimana telah
diatur dalam undang-undang nomor 11 tahun 2011 tentang cagar budaya.
Bukti kejayaan dan kebesaran ulama- ulama besar tersebut kini dapat
disaksikan sebagai saksi sejarah dengan masih adanya pusara/makam-makam di
Banda Aceh dan di Kota Subulussalam. Tinggalan-tinggalan sejarah tersebut harus
tetap dilindungi, dijaga dan dirawat agar dapat dilestarikan kepada generasi
mendatang, sebagai cagar budaya.