Cerai adalah kisah sedih dalam jalinan rumah tangga. Ibarat sebuah
drama, semua orang berharap kisah jalinan rumah tangga antara suami dan istri
berakhir bahagia. Sampai kakek-nenek dan beranak cucu, bahkan sampai ke liang
lahat. Dan ketika akhir bahagia itu tidak terjadi, bukan hanya manusia yang
kecewa, Allah dan Rasul-Nya pun kecewa. Oleh karena itu, Allah menyarankan agar
suami tidak mudah menjatuhkan kata talak/cerai pada istrinya walaupun ada rasa
tidak suka dalam hati.
Dalam Q.S An Nisa :19 Allah berfirman,yang artinya ;
“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) secara patut. Kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.
Rasulullah juga Bersabda,yang artinya ;
“Perkara halal yang paling tidak disukai Allah adalah talak”.
Namun demikian, Islam tidak menutup pintu perceraian
rapat-rapat. Karena, ada kalanya sebuah konflik rumah tangga memasuki
tahap yang tidak dapat didamaikan dan justru akan menimbulkan kesengsaraan dan
konflik yang lebih hebat apabila dilanjutkan. Dalam
situasi seperti ini, maka syari’ah membolehkan adanya perceraian seperti
tersebut dalam Q.S An-Nisa :130,yang artinya ; “Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada
masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana”
·
Cerai Hanya Dua Kali
Tidak
banyak suami yang mengerti bahwa haknya untuk menceraikan istri hanya dua kali
dalam arti selama tidak lebih dari dua kali maka suami boleh rujuk pada
istrinya kapan saja dalam masa iddah tanpa perlu akad nikah baru. Namun,
apabila suami sudah dua kali menceraikan istrinya, maka cerai yang ketiga adalah
betul-betul yang terakhir. Tidak
ada lagi jalan bagi suami untuk rujuk kecuali apabila istri menikah dengan
lelaki yang lain. Dalam Q.S
Al-Baqarah : 230 Allah berfirman,yang artinya ; :
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan
itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian
jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya
(bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”.
Ulama
fiqih menyebut talak ketiga dengan talak bain bainunah kubro. Yaitu
perceraian yang berlangsung selamanya dan tidak ada jalan untuk rujuk.
Oleh
sebab itu, suami hendaknya berhati-hati dalam menjatuhkan kata “talak”.
Karena, tidak jarang terjadi kata talak dan semacamnya dijadikan senjata
suami untuk mengancam istri atau sebagai kata “mainan” suami saat bertengkar
dengan istri. Padahal kata talak tidak bisa dijadikan main-main.
Kata
talak, cerai dan pisah adalah tiga kata talak sharih (eksplisit)
yang apabila diucapkan oleh suami pada istrinya maka jatuhlah talak walaupun
tanpa ada niat sedikitpun dari suami untuk menceraikan istrinya.
·
Bila Talak Di Ucapkan Main-main Tetap Talaknya
jatuh
Rasulullah
bersabda dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud: “Ada tiga perkara yang
serius dan main-main sama-sama dianggap serius. Yaitu, nikah, talak dan ruju’.
·
Ucapan
Talak Seorang Suami Yang Bodoh
Talak yang diucapkan pada istri secara
main-main pun terjadi talak. Begitu juga ucapan orang yang bodoh yang tidak
tahu bahwa mengucapkan kata talak itu dapat terjadi talak walaupun tanpa niat. Dengan
kata lain, kebodohan atau ketidaktahuan seorang suami tidak dapat dijadikan
alasan atas kesalahannya dalam mengucapkan talak. Imam Syafi’i menyatakan bahwa
kebodohan tidak dapat menjadi alasan yang dimaafkan ;
(Kalau orang bodoh dimaafkan maka niscaya
kebodohan itu lebih baik dari kepintaran… kebodohan atas hukum tidak dapat
dipakai sebagai alasan setelah adanya risalah kenabian berdasarkan QS An-Nisa :
165 “supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah
diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.)
Sebagian ulama menyatakan bahwa kebodohan atau
ketidaktahuan itu dimaafkan dalam beberapa kasus khusus sebagai berikut:
1) Ketidaktahuan pada hukum-hukum talak dan sighat
(kata) talak bagi muslim yang tinggal di negara yang jauh dari negara Islam dan
sulit bagi penduduknya untuk berhubungan dengan ulama atau tidak tergerak untuk
melakukan itu. Karena ulama fiqih berpendapat bagi orang yang tinggal di negara
nonmuslim (darul harb) dan tidak tahu bahwa ia berkewajiban shalat, zakat, dan
lainnya dan dia tidak melaksakan kewajibannya itu maka ia tidak wajib dalil
mengqadhanya karena samarnya petunjuk baginya dan tidak sampainya perintah
syariah padanya secara faktual. Maka, ketidaktahuan pada ajaran syariah itu
menjadi alasan yang dimaafkan (udzur).
Berbeda halnya orang yang masuk Islam di negara
muslim karena tersebarnya informasi hukum syariah dan kemungkinan untuk dapat
bertanya. As-Suyuthi dalam Ashbah wan Nadzair menyatakan: Setiap orang yang
tidak tahu atas keharaman sesuatu yang diketahui oleh kebanyakan orang maka
pengakuan tidak tahunya itu tidak diterima kecuali kalau dia baru masuk Islam
atau dia hidup di pedalaman yang jauh dari informasi seperti haramnya zina,
membunuh, mencuri, minum alkohol, berbicara dalam shalat, makan saat puasa.
2) Talak orang yang tidak tahu arti dari talak itu
sendiri. Mayoritas ulama fiqih berpendapat bahwa tidak terjadi talak bagi orang
yang tidak tahu arti kata yang menunjukkan pada talak. Seperti, apabila orang
non-Arab berkata pada istrinya “Anti Taliq” (Kamu tertalak) tapi tidak mengerti
artinya, maka tidak terjadi talak.
Az-Zarkasyi menyatakan: Apabila orang non-Arab
mengucapkan kata kufur, atau iman, atau talak, atau i’taq, atau jual beli, dan
lain-lain tapi tidak mengerti artinya, maka kata-katanya tidak dianggap. …
Begitu juga orang Arab yang berbicara dengan bahasa non-Arab yang tidak dia
mengerti maknanya maka isi perkataan tidak dianggap.
Termasuk juga ketidaktahuan dalam menghitung
seperti suami menyatakan mentalak istrinya dengan talak satu padahal sebenarnya
talak dua, dia tidak tahu berhitung, tetapi dia bermaksud pada artinya, maka
ulama berbeda pendapat. Menurut satu pendapat: terjadi talak satu, sedang
pendapat lain terjadi talak dua.
apabila orang Arab berbicara dengan kalimat
bahasa Arab akan tetapi tidak mengerti maknanya secara syariah, seperti dia
berkata pada istrinya: أنت طالق للسنة (Kamu tertalak sunnah) atau أنت طالق للبدعة
(Kamu tertalak bid’ah) sedangkan dia tidak tahu pengertian lafadznya, atau
suami berkata dengan kata khuluk atau nikah, maka menurut Izzuddin bin Abdussalam:
Kata-katanya tidak dianggap karena suami tidak punya pemahaman atas maksudnya
kecuali apabila dia bermaksud dengan kata yang diucapkannya.
Dalam koteks inilah maka Ibnu Hazm dalam Maratib al-Ijmak menyatakan: Ulama berbeda
pendapat dalam soal talaknya orang bodoh. Pendapat pertama: talak terjadi.
Pendapat kedua, talak tidak terjadi. Pendapat ketiga, talak terjadi secara
hukum kecuali ada bukti atas tidak adanya maksud suami untuk bercerai maka
dihukum tidak terjadi talak.
·
Ucapan Cerai/talak Suami yang Sedang Marah
Ucapan
cerai umumnya diucapkan pada saat ketika suami sedang marah. Hampir Kecil
kemungkinan suami mengucapkan kata talak secara serius kecuali saat emosi
karena sedang terlibat pertengkaran dengan istrinya. Oleh karena itu, kebanyakan
ulama fiqih madzhab Syafi’i sepakat bahwa talak yang diucapkan ketika sedang
marah itu sah dan jatuh talak. Imam Nawawi dalam Al-Majmuk menyatakan: “Talak
terjadi di saat rela (normal) atau marah, serius atau main-main berdasarkan
hadits bahwa : Ada tiga hal yang waktu serius dan bercanda sama-sama dianggap
serius yaitu nikah, talak dan rujuk”.
Al-Bakri
dalam Ianah
at-Talibin mengutip
Imam Ramli menyatakan hal yang sama dengan pengecualian orang yang marahnya
mencapai puncak sampai hilang akal seperti orang gila maka dalam kasus terakhir
talaknya tidak sah.
(Ulama
madzhab Syafi’i sepakat jatuhnya talak orang yang marah. Syamsuddin Ar-Ramli
pernah ditanya tentang sumpah talak saat marah yang keluar dari kesadaran
apakah talak terjadi atau tidak? Dan apakah dibenarkan pengakuan orang yang
bersumpah saat sedang sangat marah dan tidak sadar? Ar-Ramli menjawab:
Kemarahannya tidak dianggap. Tapi kalau sampai hilang akal maka dimaafkan.)
Ulama
fiqih dari madzhab Hambali juga berpendapat bahwa talak dalam keadaan marah itu
sah dan jatuh talak selagi masih belum hilang akal seperti keterangan
Ar-Rahibani dalam kitab Mathalib Ulin Nuha, Sedangkan
pendapat kalangan ulama madzhab Maliki menyatakan sahnya talak orang marah
walaupun kemarahannya mencapai tahap hilang akal seperti orang gila.
Adapun
perspektif yang sama sekali berbeda dalam soal ini adalah pandangan ulama
madzhab Hanafi. Mereka menegaskan bahwa talak orang marah hukumnya tidak sah,
sia-sia dan tidak dianggap secara syar’i. Pendapat
jumhur ulama madzhab Hanafi ini didukung oleh sebagian kecil dari madzhab Hambali
seperti Ibnu Qayyim Al-Jauziyah di mana ia membagi marah menjadi tiga tingkatan
yaitu marah biasa, marah sedang dan marah yang sangat. Ibnul Qayyim menyatakan
bahwa talaknya orang yang marah biasa hukumnya sah. Sedangkan marah yang level
sedang maka terdapat perbedaan ulama tentang sah dan tidaknya. Adapun talaknya
orang yang sangat marah sampai hilang kesadarannya, maka ulama sepakat
atas ketidak sahan talaknya.
·
Talaknya Seorang Suami yang Salah Ucap/Keseleo
Lidah
Talaknya
orang yang salah ucap. Suami yang berkata pada istrinya: Beri aku minum. Lalu
mulutnya tak terasa mengatakan “Kamu ditalak”, maka talaknya tidak sah menurut
madzhab Syafi’i dan Hanbali karena tidak adanya maksud. Dan ucapan tanpa maksud
tidak dianggap.
Madzhab
Hanafi berpendapat: talaknya sah walaupun dia tidak memilih pada hukumnya
karena bicaranya merupakan kehendak sendiri.
Madzhab
Maliki berpendapat bahwa apabila memang betul-betul keseleo lidah saat hendak
mengucapkan yang selain talak, maka talaknya tidak terjadi.
·
Talak Raj’i, Ba’in Sughra dan Ba’in Kubra
Talak
dari segi terjadinya perpisahan suami dan istri terbagi menjadi tiga macam
yaitu talak raj’i, talak ba’in bainunah sughra atau biasa disingkat dengan
talak ba’in sughra dan talak ba’in bainunah kubra yang biasa disebut dengan
talak ba’in kubra atau talak tiga. Ketiga macam talak ini terjadi dalam
situasi tertentu dan memiliki implikasi hukum yang berbeda sebagai berikut :
1) Talak raj’i atau talak rujuk.
Adalah talak
satu atau talak dua yang dijatuhkan suami pada istri. Disebut talak raj’i
karena suami dapat kembali (rujuk) kapan saja ia mau selama masa iddah belum
habis tanpa perlu akad nikah baru. Namun, apabila keinginan untuk rujuk itu
ketika masa iddah sudah habis, maka harus dilakukan akad nikah baru dengan
maskawin yang baru pula. Perlu diketahui bahwa selama masa iddah suami tidak
boleh melakukan hubungan intim, bercumbu, khalwat (berduaan), melakukan
perjalanan berdua, dan lain-lain karena istrinya berstatus dicerai. Kecuali
setelah suami menyatakan rujuk (Ini pendapat madzhab Syafi’i). Adapun madzhab Hanafi dan Hanbali memiliki
pandangan yang berbeda.
2) Talak ba’in bainunah sughra.
Yaitu
talak yang menghilangkan hak suami untuk kembali (rujuk) kecuali dengan akad
nikah dan mahar baru. Talak tipe ini terjadi dalam beberapa situasi yaitu
: Istri yang dicerai tanpa terjadinya hubungan intim, talak raj’i yang habis masa iddahnya, khuluk atau gugat cerai istri dengan membayar
sejumlah harta pada suami, gugat cerai
istri yang diberikan oleh pengadilan.
Adapun
implikasi hukum dari talak ba’in sughra adalah : Hilangnya kepemilikan dan
kehalalan suami pada istri, berkurangnya quota talak yang dimiliki suami, hilangnya
hak saling mewarisi antara suami-istri.
3) talak ba’in bainunah kubra atau talak tiga
Yaitu,
talak ketiga yang dilakukan suami. Apabila suami menjatuhkan talak satu
lalu rujuk, kemudian talak kedua lalu rujuk lagi, maka ketiga suami
menjatuhkan talak yang ketiga itu disebut dengan talak ba’in kubra atau talak
tiga atau talak terakhir. Dengan talak tiga ini, maka suami tidak lagi boleh
untuk rujuk pada istri kecuali si istri menikah dengan suami kedua dengan nikah
yang syar’i.
Wahai
saudaraqu yang seiman....Perkawinan yang ideal adalah pernikahan yang bertujuan
untuk hidup berdua selamanya, membina mahligai rumah tangga yang islami dan
dikaruniai anak-anak yang berkualitas baik dari segi ketaatan pada syariah
Islam maupun dalam segi level pendidikan. Namun, tidak semua yang ideal itu
dapat menjadi kenyataan. Apabila kebahagiaan yang ingin dicapai ternyata kandas
terombang-ambing ombak konflik yang semakin memanas, maka Islam memberi solusi
terakhir yaitu perceraian.
Perceraian
hendaknya tidak dibuat mainan. Tapi juga tidak ditabukan. Ia boleh dipakai pada
saat yang tepat dan untuk tujuan yang tepat pula yaitu demi kemaslahatan semua
pihak yang terkait.

No comments :
Post a Comment