1. Bagaimanakah hukumnya pernikahan yang dilaksanakan ketika wanita yang
dinikahi dalam keadaan hamil?
2. Bila sudah terlanjur menikah, apakah yang harus dilakukan? Apakah harus
cerai dulu, kemudian menikah lagi atau langsung menikah lagi tanpa harus
bercerai terlebih dahulu?
3. Dalam hal ini apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)?
Penulis akan jawab dengan meminta pertolongan dari Allah Al-‘Alim
Al-Hakim, sebagai berikut:
I.
Perempuan yang dinikahi
dalam keadaan hamil ada dua macam:
Satu: Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam
keadaan hamil.
Dua: Perempuan yang hamil karena melakukan zina
sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini –wal ‘iyadzu billah–
mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk
ini.
Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi
sampai lepas ‘iddah nya. Dan ‘iddah-nya ialah sampai ia
melahirkan sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka
melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Tholaq:
4)
Hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan
nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
“Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum
habis ‘iddahnya.” (QS. Al-Baqarah:
235)
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini: “Yaitu jangan
kalian melakukan akad nikah sampai lepas ‘iddah-nya.” Kemudian
beliau berkata: “Dan para ‘ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada
masa ‘iddah.”
Adapun perempuan hamil karena zina, kami melihat perlu dirinci lebih meluas
karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi di seputarnya.
Maka dengan mengharap curahan taufiq dan hidayah dari
Allah Al-‘Alim Al-Khabir, masalah ini penulis uraikan sebagai
berikut: Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak,
dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan pendapat
dikalangan para ‘ulama.
Secara global para ‘ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara
untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.
Syarat yang pertama: Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.
Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para ‘ulama:
Satu: Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan madzhab
Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu ‘Ubaid.
Dua: Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan
pendapat Imam Malik, Syafi’iy dan Abu Hanifah.
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan
disyaratkan untuk bertaubat.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109:
“Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat,
apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah
yang benar tanpa keraguan.”
Tarjih di atas berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا
يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina
atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah
diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin.” (QS. An-Nur:
3)
Dan dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bin
‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata:
أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِيْ مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ
يَحْمِلُ الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ بِمَكَّةَ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ يُقَالُ
لَهَا عَنَاقٌ وَكَانَتْ صَدِيْقَتَهُ. قَالَ: فَجِئْتُ إِلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَنْكِحُ
عَنَاقًا ؟ قَالَ: فَسَكَتَ عَنِّيْ فَنَزَلَتْ: ((وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا
إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ)) فَدَعَانِيْ فَقَرَأَهَا عَلَيَّ. وَقَالَ: لاَ
تَنْكِحْهَا
“Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang
dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama)
‘Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata: “Maka saya datang
kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam lalu saya berkata: “Ya
Rasulullah, Saya nikahi ‘Anaq?” Martsad berkata: “Maka beliau diam, maka
turunlah (ayat): “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian beliau memanggilku
lalu membacakannya padaku dan beliau berkata: “Jangan kamu nikahi dia.”(Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177,
An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180,
Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh
Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih Al-Musnad
Min Asbabin Nuzul)
Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan
perempuan pezina. Namun hukum haram tersebut bila ia belum
bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah
dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya.” (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho’ifah 2/83
dari seluruh jalan-jalannya)
Adapun para ‘ulama yang mengatakan bahwa kalimat ‘nikah’ dalam ayat An-Nur ini
bermakna jima’ atau yang mengatakan ayat ini mansukh (terhapus
hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan
bermakna jima’ atau mansukh) telah dibantah secara
tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan
pendapat yang mengatakan haram nikah dengan perempuan pezina
sebelum bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy dalam Adwa
Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma’ad 5/114-115.
Catatan:
Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan
yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia menolak berarti
taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshof 8/133
diriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas dan pendapat Imam Ahmad.
Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 9/564 berpendapat lain,
beliau berkata: “Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk
berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini pada saat berkhalwat (berduaan)
dan tidak halal berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan
bukan mahram) walaupun untuk mengajarinya Al-Qur’an maka bagaimana
(bisa) hal tersebut di halalkan dalam merayunya untuk berzina?”
Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia
bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat:
1. Ikhlash karena Allah.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Meninggalkan dosa tersebut.
4. Ber‘azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari
Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.
Dan bukan disini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu
A’lam.
Syarat Kedua: Telah lepas ‘iddah.
Para ‘ulama berbeda pendapat apakah lepas ‘iddah, apakah
merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua
pendapat:
Pertama: Wajib ‘iddah.
Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman,
Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.
Kedua: Tidak wajib ‘iddah.
Ini adalah pendapat Imam Syafi’iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan
antara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi’iy boleh untuk
melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh
ber-jima’ dengannya setelah akad, apakah orang yang
menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya
dan boleh ber-jima’ dengannya, apabila yang menikahinya adalah
orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang
yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh ber-jima’ sampai istibro` (telah
nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan
kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.
Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib ‘iddah berdasarkan
dalil-dalil berikut ini:
1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya
Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda
tentang tawanan perang Authos:
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعُ وَلاَ غَيْرُ حَامِلٍ حَتَّى تَحِيْضَ
حَيْضَةً
“Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula)
yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali.” (HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim
2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no.
1973 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam
sanadnya ada rowi yang bernama Syarik bin ‘Abdullah An-Nakha’iy dan ia lemah
karena hafalannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang
lain dari beberapa orang sahabat sehingga di shohihkan dari seluruh
jalan-jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187)
2. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari
Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ
زَرْعَ غَيْرِهِ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia
menyiramkan airnya ke tanaman orang lain.” (HR. Ahmad 4/108,
Abu Daud no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni’
dalam Mu’jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot 2/114-115,
Ath-Thobarany 5/no.4482 di hasan kan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.
2137)
3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wa sallam:
أَنَّهُ أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ
يُرِيْدُ أَنْ يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوْا نَعَمْ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا
يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ
يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ.
Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu
Pusthath. Beliau bersabda: “Barangkali orang itu ingin menggaulinya?” (Para
sahabat) menjawab: “Benar.” Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam bersabda: “Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan
laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak
halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal
baginya.”
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah: “Dalam (hadits) ini ada
dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil,
apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak), syubhat (yaitu
nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau
karena ada kesamar-samaran) atau karena zina.”
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib ‘iddah dan
pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy,
Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi
Arabia). Wallahu A’lam.
Catatan:
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil
karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini ‘iddah bagi
perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman
Allah ‘Azza wa Jalla:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka
melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Tholaq:
4)
Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, ‘iddahnya
diperselisihkan oleh para ‘ulama yang mewajibkan ‘iddah bagi
perempuan yang berzina. Sebagian para ‘ulama mengatakan bahwa ‘iddahnya
adalah istibro` dengan satu kali haid. Dan ‘ulama yang lainnya
berpendapat: tiga kali haid yaitu sama dengan ‘iddah perempuan
yang ditalak.
Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah
cukup dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini
yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry di
atas. Dan ‘iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam
Al-Qur’an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana
dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ
“Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu)
selama tiga kali quru`(haid).” (QS. Al-Baqarah:
228)
Kesimpulan Pembahasan:
1) Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat
yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan
telah lepas ‘iddah-nya.
2) Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas ‘iddah adalah
sebagai berikut:
• Kalau ia hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai melahirkan.
• Kalau ia belum hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai ia telah
haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta’ala
A’lam.
II.
Telah jelas dari
jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah,
syubhat atau karena zina, ‘iddahnya adalah sampai melahirkan.
Dan para ‘ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa ‘iddah adalah
akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap
melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri
setelah keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa ‘iddah maka
keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman)
sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan
Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny.
Kalau ada yang bertanya: “Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya
kembali setelah lepas masa ‘iddah?”
Jawabannya adalah ada perbedaan pendapat di kalangan para ‘ulama.
Jumhur (kebanyakan) ‘ulama berpendapat: “Perempuan
tersebut tidak diharamkan baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah
lepas ‘iddah-nya.”
Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa perempuan
telah menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau
berdalilkan dengan atsar ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang
menunjukkan hal tersebut. Dan pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat
dulu dari Imam Syafi’iy tapi belakangan beliau berpendapat bolehnya menikah
kembali setelah dipisahkan. Dan pendapat yang terakhir ini zhohir yang
dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir-nya dan beliau melemahkan atsar ‘Umar
yang menjadi dalil bagi Imam Malik bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar
yang serupa dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang
menunjukkan bolehnya.
Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh
keduanya menikah kembali setelah lepas ‘iddah. Wal ‘Ilmu
‘Indallah.
III.
Laki-laki dan perempuan
hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya tahu tentang haramnya
menikahi perempuan hamil kemudian mereka
berdua tetap melakukan jima’ maka keduanya dianggap berzina dan
wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara
yang diterapkan di dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada mahar bagi
perempuan tersebut.
Adapun kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi
perempuan hamil maka ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan
antara keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang
telah diterangkan.
Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak
mendapatkan maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum
dilunasi.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ
بِمَا اسْتُحِلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ
لاَ وَلِيَّ لَهَا
“Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil,
nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan)
maka baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya, dan apabila mereka
berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali.” (HR. Syafi’iy sebagaimana dalam Munadnya 1/220,275, dan
dalam Al-Umm 5/13,166, 7/171,222, ‘Abdurrazzaq dalam Mushonnafnya
6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166,
Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya 2/no. 698,
Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnadnya 1/112,
Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 1463, Abu Daud no. 2083,
At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no.
700, Sa’id bin Manshur dalam Sunannya 1/175, Ad-Darimy 2/185,
Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 3/7, Abu Ya’la
dalam Musnadnya no. 4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana
dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny
3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138, 10/148, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/88,
As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy
dalam At-Tahqiq no. 1654 dan Ibnu ‘Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87
dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.1840)
Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di
masa ‘iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu kandungan
hukum dalam hadits mencakup semuanya.
Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.
Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia
melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan
keumuman firman Allah Ta’ala:
وَآتُوا النِّسَاءَ صُدَقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
“Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan
penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa`:
4)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً
“Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban.” (QS. An-Nisa`: 24)
Dan banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A’lam.
NB :
Berkata
Al-Hafizh Ibnu Hajar sebagaimana dalam Nailul Author 4/438: “‘Iddah adalah
nama bagi waktu penungguan seorang perempuan dari menikah setelah suaminya
meninggal atau (suaminya) menceraikannya. Apakah dengan melahirkan, quru` (yaitu haid menurut
pendapat yang kuat.) atau dengan beberapa bulan.”