Bismillah
was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Bagaimana ketika ayah
tidak mau jadi wali, bukan karena tidak merestui, tapi karena ayah sakit hati
dengan putrinya. Dan ayah belum bersedia memaafkan...???
ada banyak orang yang
bisa menjadi wali bagi seorang wanita ketika menikah. Hanya saja, wali-wali itu
ada urutan hirarki-nya. Siapa yang lebih tinggi tingkatannya, dia lebih berhak
menjadi wali.
Al-Buhuty – ulama
madzhab Hambali – dalam ar-Raudhul Murbi’ menyebutkan urutan wali nikah sebagai
berikut :
1. Bapak atau yang mewakili bapak
2. Kakek, atau yang mewakili Kakek
3. Anak, atau yang mewakili anak
4. Saudara sekandung, atau yang mewakilinya
5. Saudara seayah, atau yang mewakilinya
6. Anak saudara sekandung atau seayah (keponakan), atau yang mewakilinya
7. Paman sekandung dari bapak, atau yang mewakilinya
8. Paman sebapak dari bapak, atau yang mewakilinya.
9. Sepupu (anak paman), atau yang mewakilinya
10. Wala’ (orang yang memerdekakannya).
11. Jika semua wali tidak ada, baru berpindah ke wali Hakim (KUA).
Ada 2 sebab, mengapa kerabat yang masuk dalam daftar wali, tidak jadi wali
;
- Karena tidak memungkinkan untuk jadi wali, misalnya: hilang akal atau telah meninggal. Dalam kondisi ini, posisi wali pertama, digantikan wali bawahnya. Misalnya, ayah telah meninggal, maka hak wali jatuh ke kakek. Jika kakek sudah meninggal maka hak wali ke anak. Jika belum ada anak (masih gadis), maka hak wali pidah ke saudara kandung, dst…
- Karena tidak bersedia untuk jadi wali, apapun alasannya. Baik dengan alasan syar’i maupun alasan tidak syar’i.
Jika karena alasan
syar’i, maka keputusan wali dibenarkan. Misalnya, karena calon suaminya tidak
sekufu baik dalam masalah dunia terlebih agama. Atau karena calon suaminya,
agamanya rusak, pengikut aliran sesat, dst.
Jika karena
alasan tidak syar’i, maka keputusan wali bisa ditolak, dan
boleh diajukan ke KUA. Misalnya, wali tidak merestui karena tidak cocok
perhitungan weton, karena berjenggot, atau karena si wali membenci wanita yang
mau dia nikahkan, atau membenci calon suaminya tanpa alasan yang benar. Wali
semacam ini disebut wali a’dhal.
Ibnu Qudamah
menjelaskan,
ومعنى العضل : منع المرأة من التزويج بكفئها إذا طلبت ذلك ، ورغب كل واحد
منهما في صاحبه
Makna adhal adalah
menghalangi wanita untuk menikah dengan lelaki yang sekufu dengannya, sementara
wanita itu menginginkannya. Dan masing-masing pasangan saling mencintai.
(al-Mughi, 7/368)
Wali a’dhal termasuk
pelaku kedzaliman. Karena itu tindakan semacam ini dilarang dalam al-Quran.
Allah berfirman :
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ
أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ
“Apabila kamu mentalak
isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat
kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.” (QS. al-Baqarah: 232)
Terdapat beberapa
riwayat, bahwa ayat ini turun berkaitan dengan kasus sahabat Ma’qil bin Yasar
dan saudarinya. Bahwa Ma’qil menikahkan saudarinya dengan seorang muslim di
zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hingga terjadi masalah, suaminya
menceraikannya. Sampai selesai masa iddah, sang suami tidak merujuknya. Tapi
cinta bersemi kembali. Lelaki mantan suami ini datang melamar, untuk menikahi
saudarinya Ma’qil.
Ma’qil merasa harga
dirinya dilecehkan, beliau marah, hingga mengatakan;
يا لكع أكرمتك بها وزوجتكها، فطلقتها! والله لا ترجع إليك أبدًا، آخر ما عليك
“Hai bodoh, aku
muliakan kamu dengan kunikahkan kamu dengan saudariku, lalu kau menceraikanya.
Demi Allah, aku tidak akan mengembalikannya kepadamu selamanya. Menjauh
dariku”.
Ma’qil menghalangi
pernikahan antara adiknya dengan lelaki tersebut. Kemudian Allah menurunkan
firman-Nya di atas.
Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memanggil Ma’qil dan membacakan ayat ini kepadanya.
Ma’qil-pun meninggalkan rasa egonya dan bersedia untuk tunduk kepada aturan
Allah. (HR. Bukhari)
Jika ada wali A’dhal,
hak perwalian tidak berpindah ke wali berikutya. Karena tindakan Al-Adhl adalah
kedzaliman. Sementara kuasa untuk menghilangkan kedzaliman kembali kepada
hakim.
Untuk itu, ketika wali
melakukan ‘adhal, tidak mau menikahkan dengan alasan yang tidak jelas,
maka calon pengantin bisa mendatangi KUA, dan selanjutnya KUA akan melakukan
beberapa tindakan:
1) Mediasi antara calon
pengantin dengan wali a’dhal, agar dia bersedia menikahkannya,
2) Jika alasan wali tidak
bisa diterima KUA, maka KUA akan memaksa wali a’dhal untuk menikahkannya,
3) Jika wali tetap tidak
bersedia menikahkannya, maka KUA yang akan memegang wewenang untuk
menikahkannya.
Wallahu a’lam.

No comments :
Post a Comment