بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Sahabat sekalian,,,,Pernikahan adalah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Dalam pelaksanaan pernikahan harus memenuhi rukun dan syarat
pernikahan yang ada. Akan tetapi jika salah satu rukun atau syarat pernikahan
tidak terpenuhi maka pernikahan itu tidak sah. Selain tidak sahnya pernikahan
secara langsung pernikahan itu juga batal (fasakh).
Fasakh bisa juga terjadi karena hal lain yang
melanggar aturan perkawinan. Misalnya menikah dengan saudara kandung. Meskipun
rukun dan syaratnya terpenuhi pernikahan ini dianggap batal. Karena Islam telah
mengatur beberapa perkawinan yang dilarang. Salah satunya yaitu menikah dengan
saudara kandung.
Selain berbagai permasalahan urgent diatas, terdapat
pula hal penting lainnya yang patut disorot. Yaitu mengenai seks education atau
pendidikan seks. Mengingat begitu pentingnya pendidikan seks dalam Islam maka
sudah sepatutnya diajarkan kepada anak didik dan lainya. Oleh karena itu
penulis akan mencoba membahas lebih lanjut mengenai pentingnya seks education
dalam Islam, batalnya perkawinan, dan larangan perkawinan.
A. Batalnya Perkawinan
Batalnya perkawinan yaitu “rusak atau tidak sahnya
perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah satu rukunnya,
atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama”. Batalnya perkawinan
atau putusnya perkawinan disebut juga dengan fasakh. Kata fasakh (batalnya
pernikahan) berarti merusakkan atau membatalkan. Jadi, fasakh sebagai salah
satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungan
perkawinan yang telah berlangsung.
Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya
syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal yang datang
kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.
v Fasakh karena syarat-syarat yang tidak
terpenuhi ketika akad nikah.
a. Setelah akad nikah ternyata diketahui bahwa istrinya
adalah saudara kandung atau saudara sesusuan pihak suami.
b. Suami istri masih kecil, kemudian setelah dewasa ia
berhak meneruskan ikatan pernikahannya atau mengakhirinya. Cara seperti ini
disebut khiyar baligh, jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal
ini disebut fasakh baligh.
v Fasakh karena hal-hal yang datang
setelah akad
a. Jika seorang suami murtad atau keluar dari agama Islam
dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena
kemurtadan yang terjadi belakangan.
b. Jika suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi
istri masih tetap dalam kekafirannya, yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya
batal (fasakh). Lain halnya kalau istrinya ahli kitab. Maka akadnya tetap sah
seperti semula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semula dipandang
sah.
Golongan Hanafiyah membuat rumusan umum guna
membedakan pengertian pisahnya suami istri sebab talak dan sebab fasakh. Kata
mereka: “Pisahnya suami istri karena suami dan sama sekali tidak ada pengaruh
istri disebut talak, dan setiap perpisahan suami istri karena istri, bukan
karena suami atau karena suami, tapi dengan pengaruh dari istri disebut
fasakh.”
Selain hal-hal tersebut ada juga hal-hal lain yang
menyebabkan terjadinya fasakh, antara lain:
1.
Karena
ada balak (penyakit belang kulit). Dalam kaitan ini, Rasulullah bersabda:
عَنْ
كَعْبِ بْنِ زَيْدٍ رَضِي الله عنه أَنَّ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
تَزَوَّجَ اِمْرَ أَةً مِنْ بَنِيْ غِفَارٍ، فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهَا فَوَضَعَ
ثَوْبَهُ وَقَعَدَ عَلَى الْفِرَاشِ أَبْصَرَ بِكَشْحِهَا بَيَا ضًا فَا نْحَا زَ
عَنِ الْفِرَاشِ ثُمَّ قَالَ : خُذِى عَلَيْكَ ثِيَابَكَ وَلَمْ يَأْ خُذْ مِمَّا
أَتَا هَا شَيْئًا (رواه أحمد و البيهقى
“Dari Ka’ab Bin Zaid
radhiallahu ‘anh bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menikahi seorang perempuan bani Ghifar. Maka, tatkala beliau masuk menemuinya
dan perempuan itu telah meletakkan kainnya dan ia duduk di atas tempat tidur
terlihatlah putih (balak) di lambungnya, lalu beliau berpaling seraya berkata:
ambillah kainmu, tutuplah badanmu, dan beliau tidak menyuruh mengambil kembali
barang yang telah diberikan kepada perempuan itu.” (HR.
Ahmad dan Baihaqi)
2.
Karena
gila.
3.
Karena
penyakit kusta.
4.
Karena
ada penyakit menular, seperti sipilis, TBC, AIDS dan sebagainya. Dijelaskan
dalam suatu riwayat.
عَنْ
سَعِيْدِ ابْنِ الْمُسَيَّبِ رضي الله عنه قَالَ : اَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ بِا
مْرَأَةٍ وَهُوَ جُنُوْنٌ أَوْ ضَرَرٌ فَإِنَّهَا تَخَيَّرُ فَإِ نْ شَاءَتْ
قَرَّتْ وَإِنْ شَاءَتْ فَارَقَتْ ( رواه الما لك )
“Dari Sa’id bin
Musayyab radhiallahu ‘anh ia berkata: Barangsiapa di antara laki-laki yang
menikah dengan seorang perempuan, dan pada laki-laki itu terdapat tanda-tanda
gila, atau tanda-tanda yang membahayakan, sesungguhnya perempuan itu boleh
memilih jika mau ia tetap dalam perkawinannya dan jika berkehendak cerai maka
perempuan itu boleh bercerai.” (HR. Malik).
5.
Karena
ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat maksud perkawinan
(bersetubuh).
6.
Karena
‘unnah, yaitu zakar laki-laki impoten sehingga tidak mencapai apa yang
dimaksudkan dengan nikah. Dalam suatu riwayat dari Sa’id bin Musayyab
radhiallahu ‘anh ia berkata. “Umar bin Khathab telah memutuskan bahwasanya
laki-laki yang ‘unnah diberi tenggat satu tahun sebelum dijatuhkan fasakh.” Seperti
itu juga pendapat Ibnu Mas’ud. Diriwayatkan dari ‘Utsman bahwa laki-laki yang
‘unnah tidak diberi tenggat, dari al-Harits bin ‘Abdillah bahwa laki-laki yang
‘unnah diberi tenggat sepuluh bulan. Imam Ahmad, al-Hadi dan ulama’ lain
menyatakan bahwa pada keadaan seperti itu tidak terjadi fasakh.
Disamping
itu, fasakh juga bisa terjadi oleh sebab-sebab sebagai berikut :
a. Perkawinan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki
yang bukan jodohnya.
b. Suami tidak mau memulangkan istrinya, dan tidak pula
memberikan belanja sedangkan istrinya itu tidak rela.
c. Suami miskin, setelah jelas kemiskinannya oleh
beberapa orang saksi yang dapat di percaya, sehingga ia tidak sanggup lagi
memberi nafkah, baik pakaian yang sederhana, tempat, ataupun maskawinnya belum
dibayarkannya sebelum campur.
Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh
itu jelas, dan dibenarkan syara’, maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan
putusan pengadilan. Misalnya terbukti bahwa suami istri masih saudara kandung,
atau saudara sesusuan.Akan tetapi jika terdapat hal-hal seperti berikut, maka
pelaksanaannya adalah:
1. Jika suami tidak memberi nafkah bukan karena
kemiskinannya, sedangkan hakim telah pula memaksa dia untuk itu, maka dalam hal
ini hendaklah diadukan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang, seperti
qadi nikah di Pengadilan Agama, supaya yang berwenang dapat menyelesaikannya
sebagaimana mestinya.
2. Setelah hakim memberi janji kepada suami
sekurang-kurangnya tiga hari, mulai dari hari istri itu mengadu. Jika masa
perjanjian itu telah habis, sedangkan si suami tidak juga dapat
menyelesaikannya, barulah hakim memfasakhkan nikahnya. Atau dia sendiri yang
memfasakhkan di muka hakim setelah diizinkan olehnya.
Mengenai
sebab-sebab batalnya perkawinan dan permohonan pembatalan perkawinan di
Indonesia, dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 70-76.
B. Larangan Pernikahan
Yang dimaksud dengan larangan perkawinan dalam bahasan
ini adalah orang-orang yang tidak boleh melakukan perkawinan. Yang dibicarakan
disini adalah perempuan-perempuan mana saja yang tidak boleh dikawini oleh
seorang laki-laki, atau sebaliknya laki-laki mana saja yang tidak boleh
mengawini seorang perempuan.
Secara
garis besar larangan kawin antara seorang pria dan wanita yang diatur dalam
Al-Qur’an dan Hadits, dibagi menjadi dua macam yaitu mahram muabbad dan mahram
ghairu muabbad.
1. Mahram Muabbad.
Mahram
muabbad, yaitu orang-orang yang haram melakukan pernikahan untuk selamanya.
Diantara mahram muabbad ada yang telah disepakati dan ada pula yang masih
diperselisihkan. Yang telah disepakati yaitu :
a.
Larangan perkawinan karena
hubungan kekerabatan (nasab).
Perempuan
yang haram dikawini oleh seorang laki-laki untuk selamanya disebabkan oleh
hubungan kekerabatan atau nasab yaitu ibu, anak, saudara, saudara ayah, saudara
ibu, anak dari saudara laki-laki, dan anak dari saudara perempuan.
Larangan
kawin tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surat An- Nisa’ ayat 23,yang
artinya :
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ....
b.
Larangan perkawinan karena adanya
hubungan perkawinan.
Perempuan-perempuan
yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki untuk selamanya karena
hubungan mushaharah itu adalah sebagai berikut:
1) Perempuan yang telah dikawini oleh ayah atau ibu tiri.
2) Perempuan yang telah dikawini oleh anak laki-laki atau
menantu.
3) Ibu istri atau mertua.
4) Anak dari istri dengan ketentuan istri atau telah
digauli.
Keharaman ini disebutkan dalam lanjutan ayat 23 surat
An-Nisa',yang artinya;
Dan (diharamkan) ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)...
c.
Larangan perkawinan karena
hubungan sesusuan.
Hubungan
sesusuan menjadikan orang menjadi mempunyai hubungan kekeluargaan yang
sedemikian dekatnya. Mereka yang sesusuan itu telah menjadi saudara dalam
pengertian hukum perkawinan ini, dan disebut saudara sesusuan. Tetapi
pendekatan ke dalam saudara sesusuan itu tidak menjadikan hubungan persaudaraan
sedarah untuk terjadinya saling mewaris karena sedarah dalam hukum kewarisan.
Larangan
kawin karena hubungan sesusuan berdasarkan pada lanjutan surat An-Nisa’ ayat 23
di atas,yang artinya;
(Diharamkan atas kamu mengawini) ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan...
Hadits yang terkait:
اَنَّ رَسُوْلَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم كاَنَ عِنْدَ
عاَ ئِشَةَ وَاَنَّهاَ سَمِعَتْ صَوْتَ رَجُلٍ يَسْتَأْذِنُ فىِ بَيْتِ حَفْصَةَ .
قاَ لَتْ عاَ ئِشَةُ : فَقُلْتُ ياَ رَسُوْلَ اللّهِ! أُرَاهُ فُلاَ ناً (لِعَمِّ
حَفْصَةَ مِنَ الرَّضَا عَةِ ) فَقَا لَتْ عَا ئِشَةُ : يَا رَسَوْلَ اللّهِ!
هَذَا رَجُلٌ يَسْتَأْذِنُ فىِ بَيْتِكَ ، قَا لَتْ : فَقَالَ يَارَسَوْلَ اللّهِ
صلى الله عليه وسلم: "أُرَاهُ فُلاَناً" (لِعَمِّ حَفْصَةَمِنَ
الرَّضَاعَةِ ) فَقَالَتْ عَائِشَةُ : لَوْكاَ نَ فُلاَنٌ حَيًّا (لِعَمِّهَا
مِنَالرَّضَاعَةِ) دَخَلَ عَلَيَّ ؟ فَقَا لَ رَسُوْلَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم
"نَعَمْ" اَنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلاَدَةِ "
“pada suatu hari Rasulullah berada di kamar Aisyah dan Aisyah mendengar
suara seorang laki-laki meminta izin masuk di rumah Hafshah. Aisyah berkata :
Ya Rasulullah, saya pikir si fulan (seorang paman susuan Hafshah). Kemudian
Aisyah berkata: Ya Rasulullah, dia meminta izin masuk kerumahmu. Kata Aisyah;
maka Rasulullah menjawab: saya pikir yang meminta izin itu si fulan (seorang
paman susuan Hafshah). Aisyah berkata: sekiranya si fulan itu masih hidup
(seorang paman susuan Aisyah, tentu juga dia boleh masuk ke tempatku)?
Rasulullah menjawab: benar, sesungguhnya susuan itu mengharamkan apa yang di
haramkan lantaran hubungan keluarga.” (Al Bukhory 52:7; Muslim 17;1; Al Lu-lu-u wal Marjan 2:114).
Sedangkan
yang masih diperselisihkan oleh ulama tentang pemberlakuan selamanya, yaitu :
1) Istri yang putus perkawinan karena li’an.
2) Perempuan yang di kawini waktu iddah.
2.
Mahram Ghairu Muabbad
Mahram ghairu muabbad, yaitu larangan kawin yang berlaku untuk sementara
waktu disebabkan oleh hal tertentu, bila hal tersebut sudah tidak ada, maka
larangan itu tidak berlaku lagi. Larangan kawin sementara itu berlaku dalam
hal-hal seperti berikut :
a.
Mengawini dua orang saudara dalam satu masa.
Keharaman mengumpulkan wanita dalam satu waktu perkawinan itu disebutkan dalam
lanjutan surat An-Nisa’ 23,yg artinya;
(Dan diharamkan atas kamu)menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara...
Hadits yang terkait:
عَنِ الضَّحَّاكِ بْنِ فَيْرُوزَ
الدَّيْلَمِيِّ عَنْ أَبِيْهِ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ : قُلْتُ يَا رَسُولَ
اللّه، إِنِّي أَسْلَمْتُ وَ تَحْتِي أُخْتَا نِ، فَقَالَ رَسُوْلَ اللّهِ صلى
الله عليه وسلم : طَلَّقْ أَيَتَهُمَا شِئْتَ. )رَوَاهُ أَحْمَدُ وَ اْلأَ
رْبَعَةُ إِلاَّ النَّسَا ئِيَّ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالدَّا رَ قُطْنِيُّ
، وَأَعَلَّهُ الْبُخَا رِيُّ
“Dari Adh-Dhahhak bin Fairuz Ad-Dailani, dari ayahnya Radhiyallahu Anhu
berkata, “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah masuk Islam sedang aku
mempunyai dua istri kakak beradik, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, “Ceraikanlah salah seorang dari keduanya yang kamu kehendaki.”(HR. Ahmad dan Al-Arba’ah kecuali
An-Nasa’i. Hadits Shahih menurut Ibnu HIBBAN, Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi, dan
ma’lul menurut Al-Bukhari)”
b.
Poligami diluar batas
Seorang laki-laki dalam perkawinan poligami paling banyak mengawini empat
orang dan tidak boleh lebih dari itu, kecuali bila salah seorang dari istrinya
yang berempat itu telah diceraikannya dan habis pula masa iddahnya. Dengan
begitu perempuan kelima itu haram dikawininya dalam masa tertentu, yaitu selama
salah seorang di antar istrinya yang empat itu belum diceraikan.
c.
Larangan karena ikatan perkawinan
Seorang perempuan yang sedang terikat dalam tali perkawinan haram dikawini
oleh siapapun. Keharaman itu berlaku selama suaminya masih hidup atau belum
dicerai oleh suaminya. Setelah suami mati atau ia diceraikan oleh suaminya dan
selesai masa iddahnya ia boleh dikawini oleh siapa saja.
Keharaman mengawini
perempuan bersuami itu terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 24,yang artinya ;
Dan (diharamkan juga
kamu mengawini) perempuan yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.....
d.
Larangan karena talak tiga
Wanita yang ditalak tiga, haram kawin lagi dengan bekas suaminya, kecuali
kalau sudah kawin lagi dengan orang lain dan telah berhubungan kelamin serta
dicerai oleh suami terakhir itu dan telah habis masa ‘iddahnya.
Hadits yang terkait:
وَزَادَ ابْنُ رُمْحٍ فِى رِوَا
يَتِهِ وَكَانَ عَبْدُ اللّهِ إِذَا سُئِلَ عَنْ ذَلِكَ قَالَ: لِأَ حَدِهِمْ
أَمَّا أَنْتَ طَلَّقْتَ امْرَأَتَكَ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ ، فَإِنَّ رَسُوْلَ
اللّهِ صلى الله عليه وسلم آَمَرَنِى بِهَذَا ، وَاِنْ كُنْتَ طَلَّقْتَهَّا
ثَلاَثًا فَقَدْ حَرُمَتْ عَلَيْكَ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَكَ وَعَصَيْتَ
اللّه فِيْمَا أَمَرَكَ مِنْ طَلَاقِ امْرَأَتِكَ. قَالَ مُسْلِمٌ : جَوَّدَ
الَّليْثُ فِى قَوْلِهِ : تَطْلِيْقَةً وَاحِدَةٌ.
“Ibnu Ruhm menambahkan dalam riwayatnya : apabila Abdullah di tanya tentang
hal itu (seorang suami yang menceraikan istrinya yang sedang haidh), maka dia
mengatakan kepada salah seorang dari mereka (yang bertanya), “jika kamu
menceraikan istrimu dengan talak satu atau talak dua, maka sesungguhnya
Rasulullah SAW memerintahkan hal ini kepadaku. Tetapi jika kamu menceraikan
istrimu dengan talak tiga, maka mantan istrimu itu telah haram bagimu sampai
dia menikahi lelaki selain kamu, dan engkau telah bermaksiat kepada Allah
terkait dengan apa yang di perintahkanNya kepadamu dalam hal menceraikan
istrimu.”
e.
Larangan
karena ihram
Wanita
yang sedang melakukan ihram, baik ihram umrah maupun haji, tidak boleh
dikawini. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dan Usman bin Affan :
سَمِعْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ
يَقُوْلُ : قَالَ رَسَوْلَ رَسُوْلَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم لَا يَنْكِحُ
الْمَحْرَمُ وَلَايُنْكِحَ وَلَايَخْطُبُ (رواه مسلم عن عثمان بن عفان)
“Saya mendengar Ustman bin Affan berkata:Rasulullah SAW bersabda: Orang
yang sedang ihram tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan, dan tidak boleh
pula meminang. (Diriwayatkan Muslim dari Ustman bin Affan).”
f.
Larangan karena beda agama
Yang dimaksud dengan beda agama disini ialah perempuan muslimah dengan
laki-laki non muslim dan sebaliknya. Dalam istilah fiqh disebut kawin dengan
orang kafir. Keharaman laki-laki muslim kawin dengan perempuan musyrik atau
perempuan muslimah kawin dengan laki-laki musyrik terdapat dalam surat
Al-Baqarah ayat 221 :
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ×öyz `ÏiB 7px.Îô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 wur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sã 4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ×öyz `ÏiB 78Îô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôt n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôt n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãur ¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbrã©.xtGt ÇËËÊÈ
“Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak
ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”(Q.S.Al-Baqarah:221)
Hadits Terkait :
عن أبي هريرة رضى الله عنه قال عن النبى صلى الله عليه و
سلم قال : تَنْكِحُ الْمَرْأَةُ لآَرْبَعٍ, لِمَا لِهَا, وَلِنَسَبِهَا ,
وَلِجَمَلِهَا, وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ (رواه
البخاري في كتاب النكا ح)
“Dari Abi Hurairah R.A. Berkata, Rasulullah S.A.W bersabda : "wanita
itu boleh dinikahi karena empat hal: 1. karena hartanya. 2. karena
asal-usul(keturunan)nya, 3. Karena kecantikannya, 4. Karena agamanya. Maka
hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang memeluk agama Islam,
(jika tidak), akan binasalah kedua tangan-mu (hadits riwayat Bukhari di dalam
kitab Nikah)”
WASSALAM
Banda Aceh,
Hamba Allah
No comments :
Post a Comment